Dari sekian banyaknya bangunan pura tersebut terdapat sepuluh bagian penting yang sering disebut sebagai pura kahyangan jagat,sebagai berikut akan kita jabarkan :
PURA LEMPUYANG
Pura Lempuyang Luhur terletak di puncak Bukit
Bisbis atau Gunung Lempuyang, Karangasem. Pura ini diduga termasuk paling tua
di Bali. Bahkan, diperkirakan sudah ada pada
zaman pra-Hindu-Buddha yang semula bangunan suci yang terbuat dari batu. Pura
Lempuyang itu merupakan istana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara.Dalam buku terbitan Dinas Kebudayaan Bali (1998) berjudul
''Lempuyang Luhur'' disebutkan, lempuyang berasal dari kata ''lampu'' artinya
sinar dan ''hyang'' untuk menyebut Tuhan, seperti Hyang Widhi. Dari kata itu
lempuyang atau lampuyang diartikan sinar suci Tuhan yang terang-benderang
(mencorong/menyorot). Pura Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau
Dewa Iswara.Pura Lempuyang sendiri memiliki status yang sangat besar,
sama seperti Besakih. Baik dalam konsep padma buwana, catur loka pala atau pun
dewata nawa sanga. Dalam berbagai sumber lontar atau prasasti kuno, ada tiga
pura besar yang sering disebut selain Besakih dan Ulun Danu Batur yakni
Lempuyang.Pada sekitar tahun 1950 di tempat didirikannya Pura
Lempuyang Luhur kini, baru ada tumpukan batu dan sanggar agung yang dibuat dari
pohon. Di bagian timur berdiri sebuah pohon sidhakarya besar yang kini sudah
tak ada diduga tumbang atau mati. Barulah pada 1960 dibangun dua padma kembar,
sebuah padma tunggal bale piyasan. Kini, pemugaran dan pemugaran pura kian
meningkat.Mengutif sejumlah sumber kuno, Jero Mangku Gede Wangi --
pemangku di pura itu -- mengatakan orang Bali
apa pun wangsanya tak boleh melupakan pura ini. Paling tidak sekali waktu
menyempatkan diri tangkil sembahyang ke pura ini. Sebab, jika tidak pernah atau
lupa memuja Tuhan yang manifestasinya berstana di pura ini, selama hidup bisa
tak pernah menemukan kebahagiaan, kerap cekcok dengan keluarga atau masyarakat
dan bahkan pendek umur.Kewajiban masyarakat Bali untuk memuja Batara Hyang Gni Jaya
di Lempuyang Luhur disebutkan dalam bhisama Hyang Gni Jaya yang tertulis dalam
lontar Brahmanda Purana sebagai berikut: ''Wastu kita wong Bali, yan kita lali
ring kahyangan, tan bakti kita ngedasa temuang sapisan, ring kahyangan ira
Hyang Agni Jaya, moga-moga kita tan dadi jadma, wastu kita ping tiga kena saupa
drawa.''Jero Mangku Gede Wangi menyampaikan, di Pura Lempuyang Luhur
terdapat tirta pingit di pohon bambu yang tumbuh di areal Pura Luhur. Saat umat
nunas tirta, pemangku pura usai ngaturang panguning akan memotong sebuah pohon
bambu. Air suci/tirta dari pohon bambu itu di-pundut untuk muput berbagai
upacara, kecuali manusa yadnya. Saat pujawali tak terlalu besar. Biasanya dari Desa Pakraman
Purwayu saja. Namun, jika pujawali besar seperti Batara Turun Kabeh dan Batara
Masucian ke Segara, pengayah turun dari enam desa pakraman di sekitarnya,
seperti Purwayu, Segeha, Basangalas, Ngis, Tista dan Gulinten.Pada pujawali, pengayah ngamedalang Ida Batara dari
pasimpenan di dekat areal parkir pertama. Ida Batara kapundut teruna (pemuda)
dan krandan (remaja putri). Sebelum ngayah, mereka mesti mabyakawon (mensucikan
diri) di areal Pura Pesimpenan. Ida Batara kairing ke bale piasan Pura
Penataran untuk mahias, lalu masucian ke Pura Telaga Mas, kairing munggah ke
Pasar Agung dan masandekan sebentar. Berikutnya, barulah kairing ke Luhur dan
kalinggihang, kaaturan panyejer tiga hari. Pujawali tiap enam bulan yakni
puncaknya pada Wraspati Umanis Dunggulan. Ada
sejumlah pantangan yang jika dilanggar bisa berakibat buruk. Saat naik ke
Lempuyang Luhur, kata Jero Mangku Gede Wangi, sejak awal pikiran, perkataan dan
perbuatan harus disucikan. Tak boleh berkata kasar saat perjalanan.Selain sejumlah larangan itu, juga umat yang hendak ke
Lempuyang Luhur juga tidak diperkenankan membawa perhiasan emas. Soalnya, umat
yang menggunakan perhiasan emas, perhiasan itu kerap hilang misterius.
''Membawa atau makan daging babi saat ke Lempuyang Luhur juga sebaiknya tak
dilakukan, karena daging babi itu terbilang cemer. Pantangan ke Pura Lempuyang,
hampir sama dengan ke Pura Luhur Batukaru, Jero Mangku
mengatakan, masyarakat dan umat yang naik ke Gunung Lempuyang diharapkan tak
berbuat buruk, seperti mengambil tanaman, melakukan corat-coret di jalan atau
di pura.Jero Mangku mengatakan, belum pernah ada orang yang
menghitung pasti berapa sebenarnya jumlah tangga naik ke Pura Luhur yang
berketinggian lebih dari 1.174 meter. Ada
yang mengatakan 1.750 tangga, ada juga yang mengatakan 1.800.
PURA ANDAKASA
PURA
Andakasa adalah pura kahyangan jagat yang terletak di Banjar Pakel Desa
Gegelang Kecamatan Manggis, Karangasem. Pura ini didirikan atas konsepsi Catur
Loka Pala dan Sad Winayaka. Pura yang didirikan berdasarkan konsepsi Catur Loka
Pala adalah empat pura sebagai media pemujaan empat manifestasi Tuhan untuk
memotivasi umat mendapatkan rasa aman atau perlindungan atas kemahakuasaan
Tuhan. Keempat pura itu dinyatakan dalam kutipan Lontar Usana Bali di atas.
Mendapatkan rasa aman (raksanam) dan mendapatkan kehidupan yang sejahtera
(danam) sebagai kebutuhan dasar masyarakat yang wajib diupayakan oleh para
pemimpin atau kesatria. Demikian dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra I.89.
Pura Andakasa juga salah satu pura yang
didirikan atas dasar konsepsi Sad Winayaka untuk memuja enam manifestasi Tuhan
di Pura Sad Kahyangan. Memuja Tuhan di Pura Sad Kahyangan untuk memohon
bimbingan Tuhan dalam melestarikan sad kertih membangun Bali
agar tetap ajeg -- umatnya sejahtera sekala-niskala. Membina tegaknya Sad
Kertih itu menyangkut aspek spiritual yaitu atma Kertih. Yang menyangkut
pelestarian alam ada tiga yaitu samudra kertih, wana kertih dan danu kertih
yaitu pelestarian laut, hutan dan sumber-sumber mata air. Sedangkan untuk
manusianya meliputi jagat kertih membangun sistem sosial yang tangguh dan jana
kertih menyangkut pembangunan manusia individu yang utuh lahir batin.
Jadinya pemujaan Tuhan Yang Maha Esa dengan
media pemujaan dalam wujud Pura Catur Loka Pala dan Sad Winayaka untuk
membangun sistem religi yang aplikatif. Sistem religi berupaya agar pemujaan
pada Tuhan Yang Maha Esa itu dapat berdaya guna untuk memberikan landasan moral
dan mental.
Pura Andakasa dalam kesehariannya didukung oleh
dua desa pakraman yaitu Desa Pakraman Antiga dan Gegelang. Menurut cerita
rakyat di Antiga didapatkan penjelasan bahwa pada zaman dahulu di Desa Antiga
ada tiga butir telur jatuh dari angkasa. Tiga telur tersebut didekati oleh
masyarakat. Tiba-tiba telur itu meledak dan mengeluarkan asap. Asap itu
berembus dari Desa Antiga menuju tiga arah. Ada yang ke barat daya, ke barat laut dan ke
utara. Masyarakat Desa Antiga mendengar adanya sabda atau suara dari alam
niskala. Sabda itu menyatakan bahwa asap yang mengarah ke barat daya desa
adalah Batara Brahma. Sejak itu bukit itu bernama Andakasa sebagai tempat
pemujaan Batara Brahma. Asap yang ke barat laut desa adalah Batara Wisnu menuju
Bukit Cemeng didirikan Pura Puncaksari. Asap yang menuju ke utara desa adalah
perwujudan Batara Siwa dipuja di Pura Jati. Tiga pura di tiga bukit itulah
sebagai arah pemujaan umat di Desa Antiga dan Desa Gegelang.
Pemujaan Batara Brahma di Pura Andakasa ini
dibangun di jejeran pelinggih di bagian timur dalam bentuk Padmasana. Di bagian
jeroan atau pada areal bagian dalam Pura Andakasa di jejer timur ada empat
padma. Yang paling utara adalah disebut Sanggar Agung di sebelah selatannya ada
pelinggih Meru Tumpang Telu. Di selatan meru tersebut ada padmasana sebagai pelinggih
untuk memuja Dewa Brahma atau Hyanging Tugu. Di sebelah selatan pelinggih
Batara Brahma ada juga dua padmasana untuk pelinggih Sapta Petala dan Anglurah
Agung.
Upacara pujawali atau juga disebut piodalan di
Pura Andakasa diselenggarakan dengan menggunakan sistem tahun wuku. Hari yang
ditetapkan sejak zaman dahulu sebagai hari pujawali di Pura Andakasa adalah
setiap hari Anggara Kliwon Wuku Medangsia. Di samping ada pujawali setiap 210
hari, juga diselenggarakan upacara pecaruan setiap Anggara Kliwon pada wuku
Perangbakat, wuku Dukut dan wuku Kulantir.
Setiap pujawali di Pura Andakasa pada umumnya
diadakan upacara melasti ke Segara Toya Betel di Desa Pengalon. Tujuan melasti
ini adalah untuk lebih menguatkan dan memantapkan umat dalam menyerap vibrasi
kesucian Ida Batara di Pura Andakasa. Tujuan utama melasti menurut Sundarigama
adalah anganyutaken laraning jagat, papa klesa, letuhing bhuwana. Artinya
mengatasi penderitaan rakyat, menghilangkan kekotoran (klesa) diri dan untuk
menyucikan alam lingkungan dari pencemaran.
Pura Luhur Batukaru terletak di Desa Wongaya
Gede Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan. Lokasi pura ini terletak di bagian
barat Pulau Bali di lereng selatan Gunung
Batukaru. Kemungkinan besar nama pura ini diambil dari nama Gunung Batukaru
ini. Bagi mereka yang ingin sembahyang ke Pura Luhur Batukaru sangat diharapkan
terlebih dahulu sembahyang di Pura Jero Taksu. Pura Jero Taksu ini memang
letaknya agak jauh dari Pura Luhur Batukaru.
Pura Luhur Batukaru adalah pura sebagai tempat memuja Tuhan sebagai Dewa Mega Dewa. Karena fungsinya untuk memuja Tuhan sebagai Dewa yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dengan memfungsikan air secara benar, maka di Pura Luhur Batukaru ini disebut sebagai pemujaan Tuhan sebagai Ratu Hyang Tumuwuh arti sebutan Tuhan itu adalah Tuhan sebagai yang menumbuhkan.
Pura Luhur Batukaru adalah pura sebagai tempat memuja Tuhan sebagai Dewa Mega Dewa. Karena fungsinya untuk memuja Tuhan sebagai Dewa yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dengan memfungsikan air secara benar, maka di Pura Luhur Batukaru ini disebut sebagai pemujaan Tuhan sebagai Ratu Hyang Tumuwuh arti sebutan Tuhan itu adalah Tuhan sebagai yang menumbuhkan.
Seperti pada umumnya Pura di Bali, Pura Luhur Batukaru juga
berkonsep Tri Mandala. Bentuk Bangunan utama atau biasa di sebut dengan Utama
Mandala memiliki atap yang berundak-undak dan memiliki kemiripan dengaan candi
yang terdapat di Jawa timur.
Terdapat sumber mata air yang berada di bagian dalam pura,
sumber mata air ini tidak dipergunakan secara sembarangan tetapi khusus untuk
kepentingan upacara. Sementara pada bangunan kedua terdapat sumber mata air
yang bisa di gunakan untuk kepentingan umum seperti mandi dan cuci muka, sumber
mata air di tempat ini berguna untuk sebagai pembersihan diri secara
sekala dan niskala baik lahir maupun batin saat persiapan untuk
sembahyang.
Menurut beberapa para ahli arkiologi yang pernah meneliti
Pura ini. Beberapa peninggalan purbakala yang terdapat di sini berzaman sama
dengan Pura Luhur Uluwatu, Pura Guwa Lawah, Pura Lempuyang Luhur, Pura Besakih dan Pura Pusering Jagat yang
didirikan oleh Mpu Kuturan.
Dalam kitab Babad Buleleng yang ditulis pada tahun 1605, disebutkan bahwa Raja Buleleng, Ki Panji Sakti, dan tentaranya telah menghancurkan Pura untuk memperbesar kerajaannya. Sementara ketika pasukan Buleleng menghancurkan Pura ribuan lebah datang untuk menyerang mereka sehingga niat buruk mereka tidak dapat dilakukan. Pada tahun 1959 Pura ini direnovasi dan dipertahankan oleh masyarakat sekitar dan pemerintah hingga kini.
Dalam kitab Babad Buleleng yang ditulis pada tahun 1605, disebutkan bahwa Raja Buleleng, Ki Panji Sakti, dan tentaranya telah menghancurkan Pura untuk memperbesar kerajaannya. Sementara ketika pasukan Buleleng menghancurkan Pura ribuan lebah datang untuk menyerang mereka sehingga niat buruk mereka tidak dapat dilakukan. Pada tahun 1959 Pura ini direnovasi dan dipertahankan oleh masyarakat sekitar dan pemerintah hingga kini.
Pura Luhur Batukaru adalah salah satu dari enam buah Pura
Sad kahyangan yang terdapat di Bali. Pura ini
di bangun untuk pemujaan kepada Dewa Mahadewa, banyak wisatawan maupun
masyarakat yang berkunjung ke sini pada saat Upacara Piodalan yaitu pada hari
Umanis Galungan atau sehari setelah hari raya Galungan. Upacara piodalan di
pura ini jatuh setiap 210 hari sekali yaitu pada setiap Kamis Wuku Dungulan
sehari setelah hari raya Galungan. Yang berbeda dan menjadi unik di Pura Luhur
Batukaru adalah upacara piodalan maupun upacara besar lainnya yang di
laksanakan di tempat ini dipimpin oleh pandita. Melainkan upacara cukup
dipimpin oleh pemangku yang disebut Jero Kubayan.
PURA ULUNDANU BATUR
Pura Ulun Danu Batur terletak di ketinggian 900
meter di atas permukaan laut tepatnya di Desa Kalanganyar, Kecamatan Kintamani, Kabupaten
Bangli, Provinsi Bali. Berlatar belakang pemandangan Gunung Batur lengkap dengan
lava hitamnya yang mengeras serta Danau Batur di kaki gunungnya, Pura Ulun Danu
Batur berdiri anggun menghadap ke bagian Barat. Keindahan alam pegunungan Batur
dan hijaunya kawasan Kintamani seolah menjadi latar sempurna berpadu dengan
kesakralan pura yang sempat berpindah lokasi ini.
Pembangunan Pura Ulun Danu Batur ditujukan
untuk memuja Dewi Batari Ulun Danu, dewi danau dan sungai. Ulun Danu sendiri
bermakna penguasa danau. Salah satu nilai universal dari diadakannya upacara
pemujaan di pura ini adalah adanya pesan untuk menjaga kelestarian air dan
hutan di Bali. Kawasan di sekitar pura
(Gunung Batur dan sekitarnya) disebut-sebut sebagai kawasan resapan air di
Bali. Oleh karenanya, kelestariannya harus dijaga mengingat kerusakan di daerah
resapan air tersebut akan berakibat buruk tidak hanya bagi Kintamani tapi juga
bagi Bali secara keseluruhan.
tentang beberapa bangunan di kompleks pura
tersebut.
Penataran Pura Jati berkaitan dengan pura sumber
yang terletak di sebelah Barat Danau Batur. Pura Tirta Bungkah dimana mewakili
sumber air panas yang muncul dari danau. Pura Taman Sari dan Pura Tirta Mas
Mampeh adalah pura yang berhubungan dengan kegiatan pertanian. Pura Sampian
Wangi adalah pura bagi kerajinan tangan seperti menenun, menjahit, pembuatan
sesajen, dan sajian upacara adat. Pura Gunarali adalah tempat bagi para remaja
lelaki dan perempuan memanjatkan doa. Pura Padang Sila memiliki 45 batu
pelinggih bagi para dewa dan dewi Pura Ulun Danu Batur. Pura Tuluk Biyu adalah
pura yang direlokasi dari lereng sebelah Selatan Gunung Aban
Di Pura Ulun Danu Batur terdapat gong gede
yang hanya dimainkan saat perayaan untuk memperingati relokasi pura. Upacara
tersebut dinamakan Ngusaba Kedasa
dan dilaksanakan setiap tahun pada malam purnama sasih kedasa (purnama pada
bulan kesepuluh), biasanya jatuh pada bulan Maret atau April berdasarkan
penanggalan kalender Saka Bali. Selain itu, tujuan diadakannya upacara ini
adalah untuk menunjukkan rasa syukur atas nikmat diberikan oleh Dewi Danu dan
Tuhan serta keselamatan yang diberikan kepada masyarakat sehingga dapat
bertahan hidup dari malapetaka.
PURA GOA LAWAH
Asal usul nama Pura Goa Lawah ini dari sebuah
goa alam besar yang dihuni oleh ribuan kelelawar. Dalam bahasa Bali, kata lawah berarti kelelawar. Namun dari sisi
agama, keberadaan kelelawar itu tak ada hubungannya dengan apa yang dipuja
masyarakat Hindu di Bali.
Desa Pesinggahan Kecamatan Dawan, Klungkung
inilah sebagai pusat Pura Segara (pura laut) di Bali untuk memuja Tuhan sebagai
Dewa Laut. Dalam Lontar Prekempa Gunung Agung diceritakan Dewa Siwa mengutus
Sang Hyang Tri Murti untuk menyelamatkan bumi. Dewa Brahma turun menjelma
menjadi Naga Ananta Bhoga. Dewa Wisnu menjelma sebagai Naga Basuki. Dewa Iswara
menjadi Naga Taksaka. Naga Basuki penjelmaan Dewa Wisnu itu kepalanya ke laut
menggerakan samudara agar menguap menajdi mendung. Ekornya menjadi gunung dan
sisik ekornya menjadi pohon-pohonan yang lebat di hutan. Kepala Naga Basuki
itulah yang disimbolkan dengan Pura Goa Lawah dan ekornya menjulang tinggi
sebagai Gunung Agung. Pusat ekornya itu di Pura Goa Raja, salah satu pura di
kompleks Pura Besakih. Karena itu pada zaman dahulu goa di Pura Goa Raja itu
konon tembus sampai ke Pura Goa Lawah.
Namun karena gempa dahsyat pada tahun 1917, goa itu tertutup
reruntuhan bumi. Di luar mitologi tersebut, sumber-sumber kuno mengatakan bahwa
Pura Goa Lawah dibangun atas inisiatif Mpu Kuturan pada abad ke XI dan dipugar
untuk diperluas pada abad ke XV. Salah satu kepercayaan umat Hindu di
Bali menyebutkan bahwa arwah orang yang sudah meninggal harus disucikan melalui
serangkaian upacara. Nah, ujung dari rangkaian upacara tersebut adalah atma
wedana (lanjutan dari upacara Ngaben).
Dalam upacara tersebut umat melakukan upacara
Nyegara-Gunung sebagai penutup. Mereka akan menyucikan sang arwah di laut (Pura
Goa Lawah) lalu menyemayamkannya di gunung (Pura Besakih). Dari konsep lain,
Pura Besakih (di Gunung Agung) dan Pura Goa Lawah (di tepi laut) merupakan
simbol lingga-yoni. Keduanya merupakan unsur yang menyebabkan terjadinya
penciptaan alam semesta. Tepat di mulut goa Pura ini terdapat pelinggih Sanggar
Agung sebagai pemujaan Tuhan Yang Maha Tunggal. Meru Tumpang Tiga sebagai
pesimpangan Bhatara Andakasa. Ada Gedong Limasari untuk memuja Dewi Sri Hyang
Basuki) dan Gedong Limascatu untuk memuja Dewa Wisnu (Bhatara Tengahing
Segara).
PURA ULUWATU
Pura Luhur Uluwatu adalah pura Hindu yang
terletak di sisi bebatuan karang di bagian selatan semenanjung Bali. Pura ini adalah salah satu dari Pura Sad Kahyangan (6 Pura
Induk di Bali), terletak di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung,
sekitar 25 KM selatan Denpasar, terletak di atas batu karang yang menjorok ke
laut, pada ketinggian sekitar 80 meter dari permukaan laut. Pura ini
dikelilingi oleh hutan kecil tandus yang lebih umum disebut Alas Kekeran (Hutan Larangan) yang
dimiliki oleh Pura dan dihuni oleh banyak kera serta binatang-binatang lain.
Sebelah kanan dan kiri bangunan
Pura atau Pelinggih Ida Bagus Jurit yang
terletak di kompleks Pura Uluwatu, terdapat dua palungan batu yang menyerupai
kapal. Ketika keduanya disatukan, maka bentuknya menyerupai sarcophagus, peti mati batu yang
terkenal peninggalan jaman Megalithikum (zaman batu besar). Ada sebuah peninggalan purbakala yang berasal
dari abad ke-16, yakni gerbang masuk yang berbentuk lengkung atau bersayap.
Gerbang bersayap ini adalah peninggalan purbakala yang tidak lazim. Masa
pembuatan gerbang bersayap yang ada di Pura Uluwatu dapat dibandingkan dengan
masa yang sama pada kompleks masjid di Desa Sendangduwur, Kabupaten Lamongan,
Jawa Timur. Masa pembuatannya sesuai dengan tahun Candrasengala yang ditemukan pada pahatan dalam masjid, yang
berbunyi Gunaning Salira Tirta Hayu,
yang berarti tahun Saka 1483 atau 1561 Masehi.
Kedatangan
pertama saat beliau melakukan Tirta
Yatra (ziarah ke tempat suci). Saat Beliau tiba di Uluwatu, hatinya
bergetar dan beliau mendengar bisikan bahwa tempat tersebut bagus untuk
sembahyang. Pada saat itu, Beliau memilih tempat tersebut untuk ngeluwur (melepas sukma/mati untuk
kembali kepada kesejatian diri atau moksa). Lalu berdasarkan pertimbangan,
beliau meniatkan untuk membangun Parahyangan atau
memperluas bangunan Pura Uluwatu dari sebelumnya. Ketika Mpu Kuturan memperluas
bangunan pura, beliau juga membangun penginapan sebagai tempat tinggal. Bagunan
penginapan tersebut saat ini digunakan oleh masyarakat lokal sebagai tempat suci
yang diberi-nama Pura Bukit Gong. Bangunan pura atau Parahyangan di Pura
Uluwatu diselesaikan oleh Mpu Kuturan pada abad ke-16 setelah beliau diangkat
menjadi Purohita (pendeta
penasehat raja) dari Raja Dalem Waturenggong, yang memerintah pada tahun 1460-1552.
Mpu Kuturan pada kedatangan beliau
yang kedua mencapai Moksa,
yakni hari Selasa, Kliwon Medangsya (istilah
dalam kalender Bali). Saksi mata dalam
peristiwa tersebut adalah seorang nelayan yang bernama Ki Pasek Nambangan. Ia
melihatnya cahaya yang sangat terang melesat ke angkasa yang disebut Ngeluwur.orang
Pura Luhur Uluwatu ini
berada di Desa Pecatu Kecamatan Kuta Kabupaten Badung. Pura Luhur Uluwatu
dalam pengider-ider Bali berada di arah
barat daya sebagai pura untuk memuja Tuhan sebagai Batara Rudra. Kedudukan
Pura Luhur Uluwatu tersebut berhadap-hadapan dengan Pura Andakasa, Pura Batur
dan Pura Besakih. Karena itu umumnya banyak umat Hindu sangat yakin di Pura
Luhur Uluwatu itulah sebagai media untuk memohon karunia menata kehidupan di
bumi ini.
Karena itu, di Pura
Luhur Uluwatu itu terfokus daya wisesa atau kekuatan spiritual dari tiga dewa
yaitu Dewa Brahma memancar dari Pura Andakasa, Dewa Wisnu dari Pura Batur dan
Dewa Siwa dari Pura Besakih. Tiga daya wisesa itulah yang dibutuhkan dalam
hidup ini. Dinamika hidup akan mencapai sukses apabila adanya keseimbangan
Utpati, Stithi dan Pralina secara benar, tepat dan seimbang.
Menurut Lontar
(pustaka kuna) Kusuma Dewa Pura ini didirikan atas anjuran Mpu Kuturan
sekitar abad ke-11. Pura ini salah satu dari enam Pura Sad Kahyangan yang
disebutkan dalam Lontar Kusuma Dewa.
Berhubung banyak
lontar yang menyebutkan Sad Kahyangan, maka tahun 1979-1980 Institut Hindu
Dharma (sekarang UNHI) atas penugasan Parisada Hindu Dharma Pusat mengadakan
penelitian secara mendalam. Akhirnya disimpulkan bahwa Pura Sad Kahyangan
menurut Lontar Kusuma Dewa keenam pura itulah yang ditetapkan. Lontar
tersebut dibuat tahun 1005 Masehi atau tahun Saka 927, hal ini didasarkan
pada adanya pintu masuk di Pura Luhur Uluwatu menggunakan Candi Paduraksa
yang bersayap.
Candi tersebut sama
dengan candi masuk di Pura Sakenan di Pulau Serangan Kabupaten Badung. Di
candi Pura Sakenan tersebut terdapat Candra Sangkala dalam bentuk Resi Apit
Lawang yaitu dua orang pandita berada di sebelah-menyebelah pintu masuk. Hal
ini menunjukkan angka tahun yaitu 927 Saka, ternyata tahun yang disebutkan
dalam Lontar Kusuma Dewa sangat tepat.
Dalam Lontar Padma
Bhuwana disebutkan juga tentang pendirian Pura Luhur Uluwatu sebagai Pura
Padma Bhuwana oleh Mpu Kuturan pada abad ke-11. Candi bersayap seperti di
Pura Luhur Uluwatu terdapat juga di Lamongan, Jatim. Pura Luhur Uluwatu
berfungsi sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa Rudra dan terletak di barat daya
Pulau Bali. Pura Luhur Uluwatu didirikan berdasarkan konsepsi Sad Winayaka
dan Padma Bhuwana.
Sebagai pura yang
didirikan dengan konsepsi Sad Winayaka, Pura Luhur Uluwatu sebagai salah satu
dari Pura Sad Kahyangan untuk melestarikan Sad Kertih (Atma Kerti, Samudra
Kerti, Danu Kerti, Wana Kerti, Jagat Kerti dan Jana Kerti). Sedangkan sebagai
pura yang didirikan berdasarkan Konsepsi Padma Bhuwana, Pura Luhur Uluwatu
didirikan sebagai aspek Tuhan yang menguasai arah barat daya. Pemujaan Dewa
Siwa Rudra adalah pemujaan Tuhan dalam memberi energi kepada ciptaannya.
Ida Pedanda Punyatmaja
Pidada pernah beberapa kali menjabat Ketua Parisada Hindu Dharma Pusat
mengatakan bahwa di Pura Luhur Uluwatu memancar energi spiritual tiga dewa.
Kekuatan suci ketiga Dewa Tri Murti (Brahma, Wisnu dan Siwa) menyatu di Pura
Luhur Uluwatu. Karena itu umat yang membutuhkan dorongan spiritual untuk
menciptakan, memelihara dan meniadakan sesuatu yang patut diadakan,
dipelihara dan dihilangkan sering khusus memuja Dewa Siwa Rudra di Pura Luhur
Uluwatu.
Salah satu ciri hidup
yang ideal menurut pandangan Hindu adalah menciptakan segala sesuatu yang
patut diciptakan. Memelihara sesuatu yang patut dipelihara dan menghilangkan
sesuatu yang patut dihilangkan. Menciptakan, memelihara dan menghilangkan
sesuatu yang patut itu tidaklah mudah. Berbagai hambatan akan selalu
menghadang.
Dalam menghadapi
berbagai kesukaran itulah umat sangat membutuhkan kekuatan moral dan daya
tahan mental yang tangguh. Untuk mendapatkan keluhuran moral dan ketahanan
mental itu salah satu caranya dengan jalan memuja Tuhan dengan tiga
manifestasinya. Untuk menumbuhkan daya cipta yang kreatif pujaan Tuhan dalam
manifestasinya sebagai Dewa Brahma.
Untuk memiliki
ketetapan hati memelihara sesuatu yang patut dipelihara pujaan Tuhan dalam
manifestasinya sebagai Dewa Wisnu. Untuk mendapatkan kekuatan untuk
menghilangkan sesuatu yang patut dihilangkan pujaan Tuhan dalam
manifestasinya sebagai Dewa Siwa. Energi spiritual ketiga manifestasi Tuhan
itu menyatu dalam Dewa Siwa Rudra yang dipuja di Pura Luhur Uluwatu.
Pura Luhur Uluwatu ini
tergolong Pura Kahyangan Jagat. Karena Pura Sad Kahyangan dan Pura Padma
Bhuwana itu adalah tergolong Pura Kahyangan Jagat. Di Pura Luhur Uluwatu ini
Batara Rudra dipuja di Meru Tumpang Tiga. Di sebelah kanan dari Jaba Pura
Luhur Uluwatu ada Pura Dalem Jurit sebagai pengembangan Pura Luhur Uluwatu
pada zaman kedatangan Dang Hyang Dwijendra pada abad ke-16 Masehi.
Pura Luhur Uluwatu
juga memiliki beberapa pura Prasanak atau Jajar Kemiri. Pura Prasanak
tersebut antara lain Pura Parerepan di Desa Pecatu, Pura Dalem Kulat, Pura
Karang Boma, Pura Dalem Selonding, Pura Pangeleburan, Pura Batu Metandal dan
Pura Goa Tengah. Semua Pura Prasanak tersebut berada di sekitar wilayah Pura
Luhur Uluwatu di Desa Pecatu. Umumnya Pura Kahyangan Jagat memiliki Pura Prasanak.
|
Arah barat daya itu dalam sistem pengider-ider Hindu Sekte
Siwa Sidhanta adalah Dewa Siwa Rudra. Dalam konsep Siwa Sidhanta, Dewa Tri
Murti itu adalah manifestasi Siwa sebagai sebutan Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi
dalam konsep Waisnawa, Tri Murti itu adalah perwujudan Maha Wisnu.
Dalam
Rgveda I, 164. 46 dinyatakan bahwa Tuhan itu mahaesa para Wipra atau
orang-orang suci menyebutnya dengan banyak nama. Jadinya Pura Luhur Uluwatu itu
adalah Pura Kahyangan Jagat yang didirikan berdasarkan konsepsi Sad Winayaka dan
konsepsi Padma Bhuwana. Sebagai Siwa Rudra berkedudukan untuk membumikan purusa
wisesa dari Dewa Tri Murti agar umat tertuntun melakukan dinamika hidupnya
berdasarkan Tri Kona yaitu kreatif menciptakan sesuatu yang sepatutnya
diciptakan.
Keberadaan
Pura Luhur Uluwatu ini sejak abad XVI Masehi ada terkait dengan tirthayatra
Dang Hyang Dwijendra. Setelah itu didirikanlah Meru Tumpang Tiga di Pura Luhur
Uluwatu sebagai pemujaan Dewa Siwa Rudra di mana aspek Brahma dan Wisnu juga
terkait menjadi energi magis religius dalam pemujaan Siwa Rudra di Meru Tumpang
Tiga. Meskipun kedatangan Dang Hyang Dwijendra memperluas tempat pemujaan di
Pura Luhur Uluwatu bukan berarti apa yang telah ada harus ditinggalkan begitu
saja.
Di
sebelah kiri sebelum masuk pintu Candi Bentar tersebut terdapat kompleks
pelinggih yang disebut Dalem Jurit. Di Pura Dalem Jurit inilah terdapat tiga
patung Tri Murti yang merupakan tempat pemujaan Siwa Rudra ketika Mpu Kuturan
mendirikan pura tersebut abad ke-11 Masehi. Dari Dalem Jurit kita terus masuk
melalui Candi Bentar.
Di jaba
tengah ini kita menoleh ke kiri lagi ada sebuah bak air yang selalu berisi air
meskipun musim kering sekalipun. Hal ini dianggap suatu keajaiban dari Pura
Luhur Uluwatu. Sebab, di wilayah Desa Pecatu adalah daerah perbukitan batu
karang berkapur yang mengandalkan air hujan. Bak air itu dikeramatkan karena
keajaibannya itu. Keperluan air untuk bahan tirtha cukup diambil dari bak air
tersebut.
Dari
jaba tengah ini kita terus masuk melalui Candi Kurung Padu Raksa bersayap.
Candi ini ada yang menduga dibuat pada abad ke-11 Masehi karena dihubungkan
dengan Candi Kurung bersayap yang ada di Pura Sakenan. Namun ada juga yang
berpendapat bahwa Candi Kurung bersayap seperti ini ada di Jawa Timur
peninggalan purbakala di Sendang Duwur dengan Candra Sengkala yaitu tanda tahun
Saka dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuna sbb: Gunaning salira tirtha bayu,
artinya menunjukkan angka tahun Saka 1483 atau tahun 1561 Masehi.
Candi
Kurung Padu Raksa bersayap di Sendang Duwur sama dengan Candi Kurung Padu Raksa
di Pura Luhur Uluwatu. Dengan demikian nampaknya lebih tepat kalau dikatakan
bahwa Candi Kurung Padu Raksa di Pura Luhur Uluwatu dibuat pada zaman Dang
Hyang Dwijendra yaitu abad XVI. Karena Dang Hyang Dwijendra-lah yang memperluas
Pura Luhur Uluwatu.
Pura
Luhur Uluwatu memiliki wilayah suci dalam radius kurang lebih lima kilometer. Wilayah ini disebut wilayah
Kekeran, artinya wilayah yang suci. Yang patut kita perhatikan adalah
melindungi wilayah yang disebut sebagai wilayah kekeran. Hendaknya semua pihak
menghormati wilayah kekeran tersebut untuk menjaga agar jangan ada bangunan
yang tidak terkait dengan keberadaan Pura Luhur Uluwatu itu.
PURA ULUN DANU
BRATAN
Mengutip dari sebuah sumber, Sejarah berdirinya Pura Ulun
Danu Beratan di desa Candikuning Tabanan Bedugul terurai dalam Lontar Babad
Mengwi tahun Saka 1556. Dahulu, tesebutlah seorang bernama I Gusti Agung Putu
yang kalah perang dari I Gusti Ngurah Batu Tumpeng atau Ki Ngurah Kekeran.
Mengutip dari sebuah sumber, Sejarah berdirinya Pura Ulun Danu Beratan di desa
candikuning Tabanan Bedugul terurai dalam Lontar Babad Mengwi tahun Saka 1556.
Dahulu, tesebutlah seorang bernama I Gusti Agung Putu yang kalah perang dari I
Gusti Ngurah Batu Tumpeng atau Ki Ngurah Kekeran. Sebagai tawanan, beliau
diserahkan kepada I Gusti Ngurah Tabanan kemudian diserahkan ke patih Marga
bernama I Gusti Bebalang. Kemudian untuk dapat bangkit dari kekalahan, I Gusti
Agung Putu bertapa di puncak gunung Mangu sampai beliau mendapat pencerahan
disana. Beliau kemudian turun gunung, mendirikan istana Belayu (Bala Ayu),
kembali berperang melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan menang. Dari
kemenangan itu istana dipindahkan ke Bekak dengan nama Puri Kaleran. ditempat
ini kemudian I Gusti Agung Putu mendirikan tempat pemujaan Taman Ganter dengan
istana bernama Kawiapura. setelah berkali2 menang perang, termasuk membantu
Raja Tabanan melawan musuhnya, seiring dengan berdirinya Kerajaan Mengwi,
beliau mendirikan tempat pemujaan di tepi danau Beratan untuk memuja Batara di
Pura Puncak Mangu.Mengutip dari sebuah sumber, Sejarah berdirinya Pura Ulun
Danu Beratan di desa candikuning Tabanan Bedugul terurai dalam Lontar Babad
Mengwi tahun Saka 1556. Dahulu, tesebutlah seorang bernama I Gusti Agung Putu
yang kalah perang dari I Gusti Ngurah Batu Tumpeng atau Ki Ngurah Kekeran.
Sebagai tawanan, beliau diserahkan kepada I Gusti Ngurah Tabanan kemudian
diserahkan ke patih Marga bernama I Gusti Bebalang. Kemudian untuk dapat
bangkit dari kekalahan, I Gusti Agung Putu bertapa di puncak gunung Mangu
sampai beliau mendapat pencerahan disana. Beliau kemudian turun gunung,
mendirikan istana Belayu (Bala Ayu), kembali berperang melawan I Gusti Ngurah
Batu Tumpeng dan menang. Dari kemenangan itu istana dipindahkan ke Bekak dengan
nama Puri Kaleran. ditempat ini kemudian I Gusti Agung Putu mendirikan tempat
pemujaan Taman Ganter dengan istana bernama Kawiapura. setelah berkali2 menang
perang, termasuk membantu Raja Tabanan melawan musuhnya, seiring dengan
berdirinya Kerajaan Mengwi, beliau mendirikan tempat pemujaan di tepi danau
Beratan untuk memuja Batara di Pura Puncak Mangu.
Pura Ulun Danu Beratan terletak di desa Candi Kuning,
Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Jaraknya dari kota Denpasar sekitar 50 km ke arah utara
mengikuti jalan raya Denpasar – Singaraja. Pura tersebut berada di tepi danau
Beratan, namanya diambil dari danau di atas nama Pura tersebut didirikan yaitu
Danu Beratan.
Kilasan sejarah Pura Ulun Danu Beratan dapat diketahui berdasarkan data arkeologi dan data sejarah yang terdapat dalam lontar babad Mengwi.
Data Arkeologi. Di depan halaman sebelah kiri dari pura Ulun Danu Beratan terdapat sebuah sarkopagus dan sebuah papan batu, yang berasal dari masa tradisi megalitik, sekitar 500 SM. Kedua artefak tersebut sekarang ditempatkan masing-masing di atas Babaturan (teras). Bisa diperkirakan bahwa lokasi di mana Pura Ulun Danu Beratan terdiri, telah digunakan sebagai tempat untuk melaksanakan kegiatan ritual sejak jaman megalitik.
Data Dalam Babad Mengwi. Lontar Babad Mengwi secara tersirat menguraikan bahwa I Gusti Agung Putu sebagai pendiri kerajaan Mengwi mendirikan Pura di pinggir Danau Beratan, sebelum beliau mendirikan Pura Taman Ayun. Dalam lontar tersebut tidak disebutkan kapan beliau mendirikan Pura Ulun Danu Beratan, namun yang terdapat dalam lontar itu adalah pendirian Pura Taman Ayun yang upacaranya dilaksanakan pada hari Anggara Kliwon Medangsia tahun Saka Sad Bhuta Yaksa Dewa yaitu tahun caka 1556 (1634 M). Berdasarka uraian dalam lontar Babad Mengwi tersebut dapat diketahui bahwa Pura Ulun Danu Beratan didirikan sebelum tahun saka 1556, oleh I Gusti Agung Putu. Semenjak pendirian pura tesebut termasyurlah kerajaan Mengwi, dan I Gusti Agung Putu digelari oleh rakyatnya “ I Gusti Agung Sakti”.
Pura Ulun Danu Beratan terdiri dari 4 komplek pura yaitu:
Pura Lingga Petak, Pura Penataran Pucak Mangu, Pura Terate Bang, dan Pura Dalem Purwa berfungsi untuk memuja keagungan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Tri Murti, guna memohon anugerah kesuburan, kemakmuran, kesejahteraan manusia dan lestarinya alam semesta.
Kilasan sejarah Pura Ulun Danu Beratan dapat diketahui berdasarkan data arkeologi dan data sejarah yang terdapat dalam lontar babad Mengwi.
Data Arkeologi. Di depan halaman sebelah kiri dari pura Ulun Danu Beratan terdapat sebuah sarkopagus dan sebuah papan batu, yang berasal dari masa tradisi megalitik, sekitar 500 SM. Kedua artefak tersebut sekarang ditempatkan masing-masing di atas Babaturan (teras). Bisa diperkirakan bahwa lokasi di mana Pura Ulun Danu Beratan terdiri, telah digunakan sebagai tempat untuk melaksanakan kegiatan ritual sejak jaman megalitik.
Data Dalam Babad Mengwi. Lontar Babad Mengwi secara tersirat menguraikan bahwa I Gusti Agung Putu sebagai pendiri kerajaan Mengwi mendirikan Pura di pinggir Danau Beratan, sebelum beliau mendirikan Pura Taman Ayun. Dalam lontar tersebut tidak disebutkan kapan beliau mendirikan Pura Ulun Danu Beratan, namun yang terdapat dalam lontar itu adalah pendirian Pura Taman Ayun yang upacaranya dilaksanakan pada hari Anggara Kliwon Medangsia tahun Saka Sad Bhuta Yaksa Dewa yaitu tahun caka 1556 (1634 M). Berdasarka uraian dalam lontar Babad Mengwi tersebut dapat diketahui bahwa Pura Ulun Danu Beratan didirikan sebelum tahun saka 1556, oleh I Gusti Agung Putu. Semenjak pendirian pura tesebut termasyurlah kerajaan Mengwi, dan I Gusti Agung Putu digelari oleh rakyatnya “ I Gusti Agung Sakti”.
Pura Ulun Danu Beratan terdiri dari 4 komplek pura yaitu:
Pura Lingga Petak, Pura Penataran Pucak Mangu, Pura Terate Bang, dan Pura Dalem Purwa berfungsi untuk memuja keagungan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Tri Murti, guna memohon anugerah kesuburan, kemakmuran, kesejahteraan manusia dan lestarinya alam semesta.
PURA BESAKIH
Pura Besakih adalah sebuah komplek pura yang
terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem, Bali, Indonesia.
Komplek Pura Besakih terdiri dari 18 Pura dan 1 Pura Utama. Pura Besakih
merupakan pusat kegiatan dari seluruh Pura yang ada di Bali.
Di antara semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks Pura Besakih, Pura
Penataran Agung adalah pura yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan
pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranya dan merupakan pusat dan semua pura
yang ada di Besakih. Di Pura Penataran Agung terdapat 3 arca utama Tri Murti
Brahma, Wisnu dan Siwa yang merupakan perlambang Dewa Pencipta, Dewa Pemelihara
dan Dewa Pelebur.
Perihal berdirinya Pura Besakih, berdasarkan catatan-catatan
yang terdapat dalam prasasti logam maupun lontar-lontar, disebutkan pada mulanya
merupakan bangunan pelinggih kecil yang kemudian diperbesar dan diperluas
secara bertahap dalam tempo yang cukup lama. Dari sumber-sumber catatan itu
diketahui bahwa pada permulaan abad ke-11 yaitu tahun 1007, Pura Besakih sudah
ada.
Ketika itu masa pemerintahan Airlangga di Jawa Timur
(1019-1042) dan Empu Kuturan menjadi senapati di Bali, yang berkedudukan di
Silayukti, Padangbai, Kabupaten Karangasem. Empu Kuturan memperbesar dan
memperluas Pura Besakih dengan membangun sejumlah pelinggih. Beberapa meru
dibangun meniru bangunan di Jawa seperti yang ada sekarang.
Sumber lainnya menyebutkan, Maha Rsi Markandeya pindah
bersama rombongan sebanyak sekitar 8.000 orang dan Gunung Raung di Jawa Timur
ke Bali untuk menetap dan membuka tanah-tanah pertanian serta mendirikan Pura
Besakih untuk tempat memohon keselamatan dan kesejahteraan dengan menanam panca
datu.
Kemudian, pada masa berikutnya, zaman pemerintahan Shri Wira
Kesari Warmadewa
sampai masa pemerintahan Dalem Waturenggong, Pura Besakih tetap mendapatkan pemeliharaan yang baik. Hampir semua pelinggih-nya diperbaiki, arealnya diperluas, bahkan oleh Dang Hyang Dwijendra atau Pedanda Sakti Wawu Rauh ditambah dengan pelinggih ruang tiga yang sekarang terdapat di Pura Penataran Agung Besakih pada sekitar abad ke-16, pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Bali.
sampai masa pemerintahan Dalem Waturenggong, Pura Besakih tetap mendapatkan pemeliharaan yang baik. Hampir semua pelinggih-nya diperbaiki, arealnya diperluas, bahkan oleh Dang Hyang Dwijendra atau Pedanda Sakti Wawu Rauh ditambah dengan pelinggih ruang tiga yang sekarang terdapat di Pura Penataran Agung Besakih pada sekitar abad ke-16, pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Bali.
Disebutkan, kata besakih berasal dari kata basuki yang
berarti “selamat”. Kata ini berkembang menjadi basukir dan basukih, lalu
menjadi besakih. Nama ini terdapat dalam dua prasasti yang disimpan di Gedong
Penyimpenan di Natar Agung, sebuah prasasti di Merajan Selonding dan satu lagi
di Pura Gaduh Sakti di Desa Selat.
Fungsi umum Pura Besakih adalah sebagai tempat bagi umat
Hindu untuk memohon keselamatan. Pada waktu Bhatara Turun Kabeh yang jatuh pada
setiap purnama sasih kedasa (sekitar Oktober) setiap tahunnya, seluruh umat
Hindu datang berduyun-duyun untuk menyampaikan sujud baktinya pada Tuhan. Di
pura ini juga diadakan upacara Panca Wali Krama setiap 10 tahun sekali dan yang
terbesar adalah upacara Eka Dasa Ludra setiap 100 tahun sekali. Upacara Eka
Dasa Ludra terakhir dilaksanakan pada 1979.
Dalam lontar Jaya Kesunu disebutkan Raja Sri Jayakesunu
memerintahkan memasang penjor pada Hari Raya Galungan sebagai lambang Gunung
Agung. Pada zaman Sri Kresna Kepakisan, seperti terdapat dalam lontar Raja
Purana Besakth tentang upacara, nama pelinggih, tanah pelaba, susunan pengurus,
hingga tingkatan upacara, diatur dengan baik.
Semua Umat Hindu terutama yang
ada di Bali, mempunyai sebuah pura penyungsungan
(tempat persembahyangan) yang disebut Pura Pedarman sesuai dengan wangsa
mereka, yang merupakan warisan leluhur secara turun menurun. Pura Penataran
Agung adalah Pura yang terbesar di kompleks Pura Besakih, candi-candi atau
pelinggihnya lebih banyak, upacaranya juga paling banyak di kawasan Penataran
Agung ini.
Tempat wisata Besakih berasal
dari zaman yang sangat tua, karena banyaknya peninggalan –peninggalan zaman
megalitik, seperti menhir, tahta batu, struktur teras pyramid yang ditemukan di
kompleks Pura Besakih.
Di Pura Besakih alam semesta divisualisasikan dalam berbagai
dimensi. Misalnya di Panataran Agung di Mandala Kedua hulunya Salu Panjang atau
sering juga disebut Bale Agung ada palinggih Ider Bhuwana. Salu Panjang itu
bertiang 24 di kanan Balai Pawedaan yang sering disebut Balai Gajah. Bangunan
yang disebut palinggih Ider Bhuwana itu melambangkan bahwa alam ini adalah satu
dan bulat adanya. Karena itu disebut Anda Bhuwana yang artinya alam yang
bentuknya bulat seperti telur. Kata anda dalam bahasa Sanskerta berarti telur
dan bhuwana berarti alam seperti planet-planet isi ruang angkasa ini.
Di samping alam dilukiskan satu dan bundar oleh palinggih Ider Bhuwana, alam juga dilukiskan sebagai alam bawah dan alam atas. Alam bawah di Pura Besakih divisualisasikan sebagai ”Soring Ambal-Ambal”. Sedangkan alam atas divisualisasikan “Luhuring Ambal-Ambal”. Komplek Pura Besakih ada yang digolongkan pura di Soring Ambal-Ambal dan
ada Pura yang tergolong di Luhuring Ambal-Ambal.
Di samping alam dilukiskan satu dan bundar oleh palinggih Ider Bhuwana, alam juga dilukiskan sebagai alam bawah dan alam atas. Alam bawah di Pura Besakih divisualisasikan sebagai ”Soring Ambal-Ambal”. Sedangkan alam atas divisualisasikan “Luhuring Ambal-Ambal”. Komplek Pura Besakih ada yang digolongkan pura di Soring Ambal-Ambal dan
ada Pura yang tergolong di Luhuring Ambal-Ambal.
Pura yang tergolong di Soring Ambal Ambal antara lain Pura
Pesimpangan, Pura
Manik Mas, Pura Bangun Sakti, Pura Merajan Selonding, Pura Gua Raja, Pura Rambut Sedana, Pura Basukian, Pura Dalem Puri, Pura Jenggala, Pura Banua dan Pura Merajan Kanginan. Pura yang tergolong di Luhuring Ambal Ambal adalah Pura Penataran Agung Besakih, Pura Batu Madeg, Pura Gelap, Pura Kiduling Kreteg, Pura Ulun Kulkul, Pura Peninjauan, Pura Tirtha, Pura Pengubengan, dan Pura Pasar Agung di Desa Sebudi. Kompleks : Pura Besakih ini sering disebut kompleks 18 pura. Hal ini disebabkan Pura Goa Raja dan Pura Rambut Sedana dianggap satu kompleks.
Pura Soring Ambal-Ambal lambang keberadaan alam bawah yang disebut Sapta
Patala yang berarti tujuh lapisan alam bawah. Sedangkan Pura-Luhuring Ambal-Ambal lambang keberadaan alam atas dan pemujaan Tuhan Yang Mahakuasa. Alam atas itu disebut Sapta Loka yang divisualisasikan di tujuh lapis atau Mandala Pura Penataran Agung Besakih.
Manik Mas, Pura Bangun Sakti, Pura Merajan Selonding, Pura Gua Raja, Pura Rambut Sedana, Pura Basukian, Pura Dalem Puri, Pura Jenggala, Pura Banua dan Pura Merajan Kanginan. Pura yang tergolong di Luhuring Ambal Ambal adalah Pura Penataran Agung Besakih, Pura Batu Madeg, Pura Gelap, Pura Kiduling Kreteg, Pura Ulun Kulkul, Pura Peninjauan, Pura Tirtha, Pura Pengubengan, dan Pura Pasar Agung di Desa Sebudi. Kompleks : Pura Besakih ini sering disebut kompleks 18 pura. Hal ini disebabkan Pura Goa Raja dan Pura Rambut Sedana dianggap satu kompleks.
Pura Soring Ambal-Ambal lambang keberadaan alam bawah yang disebut Sapta
Patala yang berarti tujuh lapisan alam bawah. Sedangkan Pura-Luhuring Ambal-Ambal lambang keberadaan alam atas dan pemujaan Tuhan Yang Mahakuasa. Alam atas itu disebut Sapta Loka yang divisualisasikan di tujuh lapis atau Mandala Pura Penataran Agung Besakih.
Pusat palinggih di Pura Soring Ambal-Ambal adalah di Pura
Merajan Selonding di
Pelinggih Gedong. Di Pelinggih Gedong di Merajan Selonding itulah disimpan segala pratima atau arca pemujaan semua pura yang tergolong Pura Soring Ambal-Ambal. Palinggih Gedong di Merajan Selonding inilah sebagai simbol sentralnya alam bawah. Sedangkan
semua pratima, prasasti, dan sarana lainnya dan semua pura yang tergolong Luhuring Ambal-Ambal disimpan di palinggih Kehen yang ada di petak atau Mandala Ketiga Pura Penataran Agung Besakih. Palinggih Kehen ini berbentuk meru dengan atapnya tumpang tiga. Palinggih Kehen inilah simbol pusat alam atas atau Luhuring Ambal-Ambal.
Mengapa perlu ada dua kelompok pura di kompleks Pura Besakih? Hal ini menandakan bahwa ajaran Hindu tidak hanya menanamkan ajaran untuk percaya dan takwa pada keberadaan dan kemahakuasaan Tuhan. Tetapi lebih dari itu kepercayaan dan ketakwaan umat Hindu pada Tuhan harus didayagunakan untuk memahami keberadaan alam dan semua ciptaan-Nya untuk memajukan hidup dan kehidupan ini. Tuhan dipuja sebagai jiwa dan sumber alam bawah dan alam atas. Pemujaan itu untuk menghindari adanya keyakinan bahwa Tuhan hanya ber-stana di pura bahkan ada yang menduga Tuhan hanya ada di langit. Hal ini mungkin menyebabkan banyak orang yang berbuat seenaknya di bumi ini karena Tuhan hanya ada di langit; hanya kadang-kadang datang ke bumi.
Saat memuja memang disimbolkan Tuhan berstana di pura untuk memudahkan pelatihan untuk berkonsentrasi. Tetapi dalam filosofinya Tuhan itu ada di mana-mana. Dengan adanya keyakinan bahwa Tuhan ada di alam bawah dan alam atas itu umat manusia dapat juga memahami bahwa unsur-unsur alam itu dapat berfungsi karena ada Tuhan di alam tersebut. Magma yang merupakan sumber api di perut bumi itu sebagai unsur alam yang menyebabkan adanya kesuburan di bumi. Demikian juga Tuhan ada juga di tanah sehingga tanah menjadi sumber bahan makanan yang tidak habis-habisnya tentunya kalau hak asasi alam dari tanah itu tidak diganggu manusia. Karena itu memuja Tuhan sebagai dewa tanah untuk menanamkan pemahaman akan perlunya tanah dijaga agar tidak diganggu fungsinya dalam menciptakan bahan makanan. Karena itu Tuhan dipuja sebagai dewa tanah yang disebut Dewa Ananta Bhoga. Kata ananta bhoga berarti makanan yang tiada habis-habisnya. Tanah yang tidak diganggu kesuburannya oleh manusia akan mendatangkan bahan makanan yang tidak habis-habisnya.
Pelinggih Gedong. Di Pelinggih Gedong di Merajan Selonding itulah disimpan segala pratima atau arca pemujaan semua pura yang tergolong Pura Soring Ambal-Ambal. Palinggih Gedong di Merajan Selonding inilah sebagai simbol sentralnya alam bawah. Sedangkan
semua pratima, prasasti, dan sarana lainnya dan semua pura yang tergolong Luhuring Ambal-Ambal disimpan di palinggih Kehen yang ada di petak atau Mandala Ketiga Pura Penataran Agung Besakih. Palinggih Kehen ini berbentuk meru dengan atapnya tumpang tiga. Palinggih Kehen inilah simbol pusat alam atas atau Luhuring Ambal-Ambal.
Mengapa perlu ada dua kelompok pura di kompleks Pura Besakih? Hal ini menandakan bahwa ajaran Hindu tidak hanya menanamkan ajaran untuk percaya dan takwa pada keberadaan dan kemahakuasaan Tuhan. Tetapi lebih dari itu kepercayaan dan ketakwaan umat Hindu pada Tuhan harus didayagunakan untuk memahami keberadaan alam dan semua ciptaan-Nya untuk memajukan hidup dan kehidupan ini. Tuhan dipuja sebagai jiwa dan sumber alam bawah dan alam atas. Pemujaan itu untuk menghindari adanya keyakinan bahwa Tuhan hanya ber-stana di pura bahkan ada yang menduga Tuhan hanya ada di langit. Hal ini mungkin menyebabkan banyak orang yang berbuat seenaknya di bumi ini karena Tuhan hanya ada di langit; hanya kadang-kadang datang ke bumi.
Saat memuja memang disimbolkan Tuhan berstana di pura untuk memudahkan pelatihan untuk berkonsentrasi. Tetapi dalam filosofinya Tuhan itu ada di mana-mana. Dengan adanya keyakinan bahwa Tuhan ada di alam bawah dan alam atas itu umat manusia dapat juga memahami bahwa unsur-unsur alam itu dapat berfungsi karena ada Tuhan di alam tersebut. Magma yang merupakan sumber api di perut bumi itu sebagai unsur alam yang menyebabkan adanya kesuburan di bumi. Demikian juga Tuhan ada juga di tanah sehingga tanah menjadi sumber bahan makanan yang tidak habis-habisnya tentunya kalau hak asasi alam dari tanah itu tidak diganggu manusia. Karena itu memuja Tuhan sebagai dewa tanah untuk menanamkan pemahaman akan perlunya tanah dijaga agar tidak diganggu fungsinya dalam menciptakan bahan makanan. Karena itu Tuhan dipuja sebagai dewa tanah yang disebut Dewa Ananta Bhoga. Kata ananta bhoga berarti makanan yang tiada habis-habisnya. Tanah yang tidak diganggu kesuburannya oleh manusia akan mendatangkan bahan makanan yang tidak habis-habisnya.
Ada juga
pura untuk memuja Tuhan sebagai dewa air ini untuk menanamkan pemahaman umat
agar tidak merusak eksistensi air sebagai salah satu sumber kehidupan umat
manusa. Syukurlah Tuhan menciptakan air. Tidak ada kehidupan tanpa air. Tuhan
sebagai dewa air dipuja sebagai Sang Hyang Basuki. Basuki berarti rahayu atau
selamat. Tanpa air tidak ada keselamatan.
Demikian juga, pura di Luhuring Ambal-Ambal ada yang disebut
Pura Ulang Alu dan Pura Ratu Subandar. Hal ini untuk mengarahkan pada mereka
yang melakukan usaha perdagangan dalam negeri dan luar negeri agar berdagang
sesuai dengan norma-norma berdagang yang benar, baik dan bermoral; tidak menipu
pelanggan, tidak memalsu barang baik kualitasnya maupun timbangannya.
Ada juga palinggih Widyadhara dan Widyadharii yang berarti Tuhan sebagai dewa ilmu pengetahuan. Demikianlah seterusnya bahwa adanya kelompok Pura Soring Ambal-Ambal dan Luhuring Ambal-Ambal sebagai simbol untuk menanamkan pemahaman bahwa Tuhan itu ada di mana-mana termasuk ada di langit maupun di bumi. Dengan demikian pemujaan Tuhan agar dapat didayagunakan untuk membangun moral luhur untuk menjaga kesucian bumi dan langit agar tidak terpolusi akibat perilaku negatif manusia. I Ketut Wiana.
Ada juga palinggih Widyadhara dan Widyadharii yang berarti Tuhan sebagai dewa ilmu pengetahuan. Demikianlah seterusnya bahwa adanya kelompok Pura Soring Ambal-Ambal dan Luhuring Ambal-Ambal sebagai simbol untuk menanamkan pemahaman bahwa Tuhan itu ada di mana-mana termasuk ada di langit maupun di bumi. Dengan demikian pemujaan Tuhan agar dapat didayagunakan untuk membangun moral luhur untuk menjaga kesucian bumi dan langit agar tidak terpolusi akibat perilaku negatif manusia. I Ketut Wiana.
PURA PURUSADA
Pura Purusada atau Pura Sada adalah salah satu tempat suci
di-empon 18 banjar adat se Desa Pakraman Kapal.
Dalam keyakinan warga Kapal dan sekitar, pura yang berada di atas lahan seluas kurang lebih 60 are ini, merupakan kahyangan jagat.
Hal tersebut tampak dari orang-orang yang tangkil ke Pura Sada. Saat berlangsung piodalan, pamedek yang datang berasal dari Denpasar, Tabanan, Buleleng, serta daerah lainnya di Bali.
Selain pada upacara besar, waktu Purnama tiba, seperti pada Purnama Kapat (Purnama bulan ke-4 dalam kalender Bali) lalu, banyak pula warga, terutama yang tinggal di Kapal, berbondong-bondong menghaturkan bakti ke Pura Sadha. Mereka bersimpuh di depan stana Hyang Siwa Guru, mohon kerahayuan diri beserta jagat ini.
Sesuai penuturan Kerta Sabha Desa Pakraman Kapal, I Ketut Sudarsana, tradisi sejenis sudah berlangsung sejak lama. Saban ada rarainan jagat seperti Purnama Tilem (bulan mati), atau Kajeng Kliwon, maka warga di Kapal akan menghaturkan banten ke pura ini.
Ada ciri khas yang terlihat dari pura ini, yakni kehadiran candi berbahan bata merah bertingkat sebelas. Candi nan menjulang tinggi dengan ketinggian 18 meter ini berada di areal paling dalam (jeroan), merupakan palinggih induk sebagai stana Ida Batara Siwa Guru, penguasa di Pura Purusada. Di dalam candi tersimpan arca lingga serta Tri Murti yang menjadi simbol manifestasi Tuhan.
Di sekeliling candi terdapat beberapa bangunan suci, di antaranya palinggih Padarman Kerajaan Mengwi, palinggih Pasek, Ratu Panji Sakti dari Buleleng, palinggih Gusti Ngurah Celuk, dan lainnya.
Dalam cermatan Sudarsana, kehadiran beberapa palinggih yang mengitari candi, bisa dimaknai bahwa Pura Purusada juga berfungsi sebagai tempat pemersatu warga dari berbagai golongan. "Ada juga yang mengait-ngaitkan tempat suci ini dengan kedatangan Danghyang Nirartha di Bali," tambah lelaki yang ahli menyurat lontar ini.
Berdasarkan cerita yang sempat direkam Sudarsana, sekitar tahun 1489 Masehi, Maharsi dari Jawa Timur memang sempat mampir ke pura yang diempon sekitar 2.500 KK. Kala itu, sang Maharsi yang di Bali juga kerap disebut Danghyang Dwijendra, datang ke Pura Taman Sari di wilayah Mengwi. Mendengar ada orang suci datang dan kebetulan di Pura Purusada saat itu sedang berlangsung upacara, akhirnya Bandesa Sukra atau lumrah pula dipanggil Bandesa Ganggangan yang saat itu memegang tampuk pimpinan di Desa Pakraman Kapal, mendatangi Danghyang Dwijendra. Bandesa ini mohon supaya sang Maharsi bersedia muput upacara di Pura Sadha. Permintaan Bandesa Ganggangan disanggupi. Danghyang Dwijendra akhirnya ikut muput piodalan di Pura Purusada.
Jadi, Maharsi Dwijendra hanya singgah dan bukan pendiri Pura Purusada, mengingat pura ini sudah ada jauh sebelum orang suci ini datang ke Bali.
Perihal waktu yang pasti dibangun Pura Purusada, memang berlum ada temuan yang bisa dijadikan bukti kuat. "Tahun pendirian pura memang tak ada," kata Sudarsana.
Toh, sebagai penguat terdapat Purana Kahyangan Purusada, yang di dalamnya ada menyebutkan Pura candi Purusada, yang berlokasi di jagat Kapal, sebagai stana lingga Ida Batara Guru, yang menjadi awal jagat Bali serta sebagai stana Ida Dewi Manik Galih beserta swaminya Ida Raja Purusadha. Di Pura Purusada tempat mohon kahuripan manusia di tanah Bali, makanya pura ini menjadi pusering jagat Bali.
Di samping bertumpu pada Purana Kahyangan Purusada, keberadaan pura ini juga ada disinggung dalam penjelasan singkat salinan Prasasti Karaman Kapal, sebuah prasasti dari lempeng tembaga yang dibuat atas perintah Raja Bali, Sri Maharaja Jaya Sakti (1133-1150). Dalam penjelasan itu ditegaskan:
"Nampaknya nama Pura Purusadha singkatan dari Pura Prasadha yang dipugar selama zaman ke-emasan Majapahit. Pura Purusada ini dipersembahkan kepada Siwa Guru dengan Bhatara Sakti Jayenggrat dan Bhatara Sri (Manik Galih).
Dari penjelasan tadi bisa ditarik kesimpulan Pura Purusada sudah terbangun jauh sebelum Majapahit menguasai Bali.
Sebagai kahyangan jagat, Pura Purusada memiliki tempat suci pasanakan, yakni Pura Dalem Bhangun Sakti yang berada di Banjar Basangtamiang. Banjar ini masih berada dalam wilayah Desa Pakraman Kapal.
Keterikatan antara kedua pura ini begitu melekat. Saat berlangsung upacara di Pura Sadha, maka Ida Batara di Pura Dalem Bhangun Sakti, arca (pralingga) plus patapakan barong, diusung ke Pura Sadha. Kalau di Pura Dalem Bhangun Sakti berlangsung piodalan, maka krama pangempon tempat suci ini terlebih dulu ngatur piuning (memberitahukan) sekaligus mohon tirta di Pura Purusada.
Jika diadakan upacara malasti, menjelang hari Nyepi, sebelum Ida Batara di Pura Dalem Bhangun Sakti hadir, maka perjalanan menuju tempat melasti belum dilaksanakan. Jika sudah datang baru berangkat bersama-sama dan umumnya Ida Batara di Pura Dalem Bhangun Sakti berada di depan. Sebagai pengawal perjalanan Ida Batara Pura Purusada.
Tradisi tersebut tetap berlangsung hingga kini. Warga Kapal tak berani melanggar warisan para moyang itu, sebab khawatir bila sampai dilanggar akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
Berdasarkan cerita turun temurun tetua di Kapal yang sempat diterima Sudarsana, dulu konon pernah terjadi pelanggaran, saat Ida Batara di Pura Purusada di-tuur ke Pura Taman Ayun, Mengwi. Cuma, kala itu krama Desa Kapal tak menyertakan Ida Batara di Pura Dalem Bhangun Sakti.
Dalam perjalanan dari Pura Sadha ke Taman Ayun memang lancar. Tiada aral melintang. Begitu sampai di pelataran Pura Taman Ayun dan hendak masuk ke areal jeroan, ternyata krama yang mengusung tigasana yang menjadi stana Ida Batara Pura Sadha tidak mau masuk. Selalu ingin berbalik. Pun ketika ada warga lain yang mengganti, peristiwa serupa kembali terjadi.
Lama tak terselesaikan, akhirnya beberapa warga sadar, bahwa sebelumnya tak dilakukan upacara nuur Ida Bhatara di Dalem Bhangun Sakti. Warga pun bersepakat mengusung kembali tiga sana itu menuju Pura Sadha. Sampai di tempat suci ini, beberapa warga diutus untuk nuur Ida Batara di Pura Dalem Bhangun Sakti guna diikutsertakan ke Pura Taman Ayun.
Selanjutnya krama bersamaan ngiring Ida Batara di Pura Sadha dan di Pura Dhalem Bangun Sakti menuju Pura Taman Ayun. "Setelah itu ternyata tak muncul masalah. Ida Batara di Pura Sadha bisa distanakan di Taman Ayun," kenang Kelian Pamaksan Pura Bhangun Sakti ini.
Upacara di Pura Purusada berlangsung setiap 210 hari sekali (6 bulan sesuai kalender Bali) yakni pada Tumpek Kuningan. Penanggungjawab kegiatan berada di tangan pangempon yang terdiri dari 11 banjar adat. Hanya, masing-masing banjar secara bergilir mengerjakan sarana upacara. Jika pada piodalan kali ini yang dapat giliran banjar A, maka enam bulan berikutnya Banjar B. Begitu seterusnya.
Sarana upacara biasanya dibuatkan di masing-masing banjar, namun biaya sepenuhnya menjadi tanggung jawab dari Desa Pakraman Kapal yang besarnya disesuaikan dengan harga barang saat upacara digelar. Sehari menjelang puncak upacara, sarana tersebut sudah disiapkan di pura. Ketika puncak acara tiba, warga lain cukup datang menghaturkan bakti
Dalam keyakinan warga Kapal dan sekitar, pura yang berada di atas lahan seluas kurang lebih 60 are ini, merupakan kahyangan jagat.
Hal tersebut tampak dari orang-orang yang tangkil ke Pura Sada. Saat berlangsung piodalan, pamedek yang datang berasal dari Denpasar, Tabanan, Buleleng, serta daerah lainnya di Bali.
Selain pada upacara besar, waktu Purnama tiba, seperti pada Purnama Kapat (Purnama bulan ke-4 dalam kalender Bali) lalu, banyak pula warga, terutama yang tinggal di Kapal, berbondong-bondong menghaturkan bakti ke Pura Sadha. Mereka bersimpuh di depan stana Hyang Siwa Guru, mohon kerahayuan diri beserta jagat ini.
Sesuai penuturan Kerta Sabha Desa Pakraman Kapal, I Ketut Sudarsana, tradisi sejenis sudah berlangsung sejak lama. Saban ada rarainan jagat seperti Purnama Tilem (bulan mati), atau Kajeng Kliwon, maka warga di Kapal akan menghaturkan banten ke pura ini.
Ada ciri khas yang terlihat dari pura ini, yakni kehadiran candi berbahan bata merah bertingkat sebelas. Candi nan menjulang tinggi dengan ketinggian 18 meter ini berada di areal paling dalam (jeroan), merupakan palinggih induk sebagai stana Ida Batara Siwa Guru, penguasa di Pura Purusada. Di dalam candi tersimpan arca lingga serta Tri Murti yang menjadi simbol manifestasi Tuhan.
Di sekeliling candi terdapat beberapa bangunan suci, di antaranya palinggih Padarman Kerajaan Mengwi, palinggih Pasek, Ratu Panji Sakti dari Buleleng, palinggih Gusti Ngurah Celuk, dan lainnya.
Dalam cermatan Sudarsana, kehadiran beberapa palinggih yang mengitari candi, bisa dimaknai bahwa Pura Purusada juga berfungsi sebagai tempat pemersatu warga dari berbagai golongan. "Ada juga yang mengait-ngaitkan tempat suci ini dengan kedatangan Danghyang Nirartha di Bali," tambah lelaki yang ahli menyurat lontar ini.
Berdasarkan cerita yang sempat direkam Sudarsana, sekitar tahun 1489 Masehi, Maharsi dari Jawa Timur memang sempat mampir ke pura yang diempon sekitar 2.500 KK. Kala itu, sang Maharsi yang di Bali juga kerap disebut Danghyang Dwijendra, datang ke Pura Taman Sari di wilayah Mengwi. Mendengar ada orang suci datang dan kebetulan di Pura Purusada saat itu sedang berlangsung upacara, akhirnya Bandesa Sukra atau lumrah pula dipanggil Bandesa Ganggangan yang saat itu memegang tampuk pimpinan di Desa Pakraman Kapal, mendatangi Danghyang Dwijendra. Bandesa ini mohon supaya sang Maharsi bersedia muput upacara di Pura Sadha. Permintaan Bandesa Ganggangan disanggupi. Danghyang Dwijendra akhirnya ikut muput piodalan di Pura Purusada.
Jadi, Maharsi Dwijendra hanya singgah dan bukan pendiri Pura Purusada, mengingat pura ini sudah ada jauh sebelum orang suci ini datang ke Bali.
Perihal waktu yang pasti dibangun Pura Purusada, memang berlum ada temuan yang bisa dijadikan bukti kuat. "Tahun pendirian pura memang tak ada," kata Sudarsana.
Toh, sebagai penguat terdapat Purana Kahyangan Purusada, yang di dalamnya ada menyebutkan Pura candi Purusada, yang berlokasi di jagat Kapal, sebagai stana lingga Ida Batara Guru, yang menjadi awal jagat Bali serta sebagai stana Ida Dewi Manik Galih beserta swaminya Ida Raja Purusadha. Di Pura Purusada tempat mohon kahuripan manusia di tanah Bali, makanya pura ini menjadi pusering jagat Bali.
Di samping bertumpu pada Purana Kahyangan Purusada, keberadaan pura ini juga ada disinggung dalam penjelasan singkat salinan Prasasti Karaman Kapal, sebuah prasasti dari lempeng tembaga yang dibuat atas perintah Raja Bali, Sri Maharaja Jaya Sakti (1133-1150). Dalam penjelasan itu ditegaskan:
"Nampaknya nama Pura Purusadha singkatan dari Pura Prasadha yang dipugar selama zaman ke-emasan Majapahit. Pura Purusada ini dipersembahkan kepada Siwa Guru dengan Bhatara Sakti Jayenggrat dan Bhatara Sri (Manik Galih).
Dari penjelasan tadi bisa ditarik kesimpulan Pura Purusada sudah terbangun jauh sebelum Majapahit menguasai Bali.
Sebagai kahyangan jagat, Pura Purusada memiliki tempat suci pasanakan, yakni Pura Dalem Bhangun Sakti yang berada di Banjar Basangtamiang. Banjar ini masih berada dalam wilayah Desa Pakraman Kapal.
Keterikatan antara kedua pura ini begitu melekat. Saat berlangsung upacara di Pura Sadha, maka Ida Batara di Pura Dalem Bhangun Sakti, arca (pralingga) plus patapakan barong, diusung ke Pura Sadha. Kalau di Pura Dalem Bhangun Sakti berlangsung piodalan, maka krama pangempon tempat suci ini terlebih dulu ngatur piuning (memberitahukan) sekaligus mohon tirta di Pura Purusada.
Jika diadakan upacara malasti, menjelang hari Nyepi, sebelum Ida Batara di Pura Dalem Bhangun Sakti hadir, maka perjalanan menuju tempat melasti belum dilaksanakan. Jika sudah datang baru berangkat bersama-sama dan umumnya Ida Batara di Pura Dalem Bhangun Sakti berada di depan. Sebagai pengawal perjalanan Ida Batara Pura Purusada.
Tradisi tersebut tetap berlangsung hingga kini. Warga Kapal tak berani melanggar warisan para moyang itu, sebab khawatir bila sampai dilanggar akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
Berdasarkan cerita turun temurun tetua di Kapal yang sempat diterima Sudarsana, dulu konon pernah terjadi pelanggaran, saat Ida Batara di Pura Purusada di-tuur ke Pura Taman Ayun, Mengwi. Cuma, kala itu krama Desa Kapal tak menyertakan Ida Batara di Pura Dalem Bhangun Sakti.
Dalam perjalanan dari Pura Sadha ke Taman Ayun memang lancar. Tiada aral melintang. Begitu sampai di pelataran Pura Taman Ayun dan hendak masuk ke areal jeroan, ternyata krama yang mengusung tigasana yang menjadi stana Ida Batara Pura Sadha tidak mau masuk. Selalu ingin berbalik. Pun ketika ada warga lain yang mengganti, peristiwa serupa kembali terjadi.
Lama tak terselesaikan, akhirnya beberapa warga sadar, bahwa sebelumnya tak dilakukan upacara nuur Ida Bhatara di Dalem Bhangun Sakti. Warga pun bersepakat mengusung kembali tiga sana itu menuju Pura Sadha. Sampai di tempat suci ini, beberapa warga diutus untuk nuur Ida Batara di Pura Dalem Bhangun Sakti guna diikutsertakan ke Pura Taman Ayun.
Selanjutnya krama bersamaan ngiring Ida Batara di Pura Sadha dan di Pura Dhalem Bangun Sakti menuju Pura Taman Ayun. "Setelah itu ternyata tak muncul masalah. Ida Batara di Pura Sadha bisa distanakan di Taman Ayun," kenang Kelian Pamaksan Pura Bhangun Sakti ini.
Upacara di Pura Purusada berlangsung setiap 210 hari sekali (6 bulan sesuai kalender Bali) yakni pada Tumpek Kuningan. Penanggungjawab kegiatan berada di tangan pangempon yang terdiri dari 11 banjar adat. Hanya, masing-masing banjar secara bergilir mengerjakan sarana upacara. Jika pada piodalan kali ini yang dapat giliran banjar A, maka enam bulan berikutnya Banjar B. Begitu seterusnya.
Sarana upacara biasanya dibuatkan di masing-masing banjar, namun biaya sepenuhnya menjadi tanggung jawab dari Desa Pakraman Kapal yang besarnya disesuaikan dengan harga barang saat upacara digelar. Sehari menjelang puncak upacara, sarana tersebut sudah disiapkan di pura. Ketika puncak acara tiba, warga lain cukup datang menghaturkan bakti
PURA PUNCAK MANGU
Pura Pucak Mangu berada di kawasan puncak Gunung
Mangu yang sering juga disebut Pucak Pengelengan, Pucak Tinggan dan Pucak
Beratan. Di pura ini terdapat lingga. Lingga tersebut berukuran tinggi 60 cm
dan garis tengah 30 cm. Bahannya dari batu alam lengkap dengan segi empat
(Brahma Bhaga), segi delapan (Wisnu Bhaga) dan bentuk bulat (Siwa Bhaga). Ini
menunjukkan bahwa pada zaman dulu puncak gunung ini sudah menjadi pusat
pemujaan terhadap Dewa Siwa. Di Pura ini umumnya umat memohon kerahayuan dan
kemakmuran jagat. Tumbuh-tumbuhan — pala bungkah dan pala gantung dimohonkan
selamat dan terbebas dari hama.
Demikian pula ternak peliharaan tidak mengalami gerubug.
Bagi
masyarakat Hindu di Bali, tempat suci atau
pura adalah wahana penghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
Sang
Pencipta alam semesta beserta isinya. Beribu-ribu pura ”membentengi”
Bali. Status dan fungsinya beraneka ragam seperti Pura
Kahyangan Jagat, Pura Sad Kahyangan, Pura Dang Kahyangan sampai Pura
Padharman,
Pura Kawitan, Pura Panti, Pura Paibon, Sanggah atau Pemerajan. Pura
sendiri
dalam bahasa Sansekerta berarti benteng. Karena itu Bali
sering disebut seribu pura dan juga pulau suci. Lebih-lebih kata Bali
dihubungkan dengan kata wali atau banten atau upakara yadnya, sehari pun
Bali tak luput dengan kegiatan upakara. Di Bali terdapat
sekitar 5.259 buah pura. Itu belum temasuk pura keluarga yang
kecil-kecil.
Dalam keputusan seminar kesatuan tafsir terhadap
aspek-aspek agama Hindu disebutkan bahwa pura adalah tempat suci untuk memuja
Hyang Widhi Wasa dalam segala prabawanya atau manifestasi-Nya. Di samping itu,
pura adalah tempat suci untuk memuja Atma Sidha Dewata atau roh suci leluhur.
Kahyangan atau parahyangan sering digunakan untuk menyebut pura.
Keberadaan pura yang tersebar di mana-mana
sangat sesuai dengan konsepsi Hindu yang menyatakan bahwa Tuhan ada di
mana-mana. Tuhanlah yang menjadi asal-muasal dan tujuan dari semua kehidupan di
dunia ini.
Secara umum pura berfungsi sebagai tempat suci
untuk memuja Tuhan dan manifestasinya. Pura juga berfungsi sebagai tempat suci
untuk memuja roh leluhur. Selain itu, ada pura yang dipakai untuk memuja Tuhan
sekaligus memuja leluhur.
Status pura juga dibedakan yaitu sebagai
Kahyangan Jagat yaitu pura umum tempat pemujaan Tuhan. Termasuk dalam kahyangan
jagat ini adalah Pura Sad Kahyangan — enam pura besar di Bali.
Pura Dang Kahyangan yakni pura yang berkaitan
dengan dharmayatra Dhang Guru.
Sedangkan pura teritorial atau pura kahyangan
desa yaitu pura yang disungsung oleh desa adat berupa Kahyangan Tiga yakni Pura
Desa atau Pura Baleagung, Pura Puseh dan Pura Dalem.
Di samping itu ada pura swagina yang penyiwi-nya
terikat oleh swagina (profesi) yang sama, seperti Pura Subak, Pura Melanting,
Pura Ulunsuwi, dll. Terakhir adalah pura kawitan yaitu yang pemujaan ditentukan
oleh asal-muasal keturunan atau ikatan leluhur.
Salah satu pura Sad Kahyangan yang terletak di
hulu Kabupaten Badung adalah Pura Pucak Mangu (berada di puncak Gunung Mangu)
dan di bawahnya didirikan Pura Penataran Agung Pucak Mangu.
Jro Mangku Gede Pura Pucak Mangu dan Jro Bayan
Runi
mengatakan Pura Pucak Mangu didirikan sekitar
tahun 1830 oleh Raja Mengwi. Lokasi Pura Penataran Agung Pucak Mangu berada di
Banjar Tinggan, Pelaga, Petang, Badung. Pura ini merupakan stana Ida Batara
Sangkara yakni Dewa Kemakmuran. Pura Pucak Mangu berada 1.950 km di atas
permukaan air laut. Sedangkan Pura Penataran Agung Pucak Mangu berada sekitar
50 km dari arah Denpasar. Pujawali di pura ini berlangsung setiap tahun sekali
yakni bertepatan dengan Purnama Sasih Kelima. Di samping itu, di pura ini
secara spesifik diselenggarakan upacara pangebek, mohon kesuburan tanaman. Saat
pujawali, pelaksanaan upacara berlangsung pagi hari di Pura Pucak Mangu,
kemudian dilanjutkan di Pura Penataran Agung Pucak Mangu. Di Pura Pucak Mangu
terdapat pelinggih lingga, meru tumpang lima
stana Ida Batara Sangkara, meru tumpang tiga stana Ida Batara Teratai Bang.
Di situ juga terdapat pelinggih Panca Rsi. Juga terdapat panggungan, pepelik,
padmasana stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan padma campah.
Sementara di Pura Penataran Agung Pucak Mangu
terdapat sejumlah pelinggih seperti padmasana stana Ida Sang Hyang Widhi, padma
tiga merupkana stana Ida Batara Siwa, Parama Siwa dan Sada Siwa. Di situ juga
terdapat pelinggih Pertiwi, meru tumpang sebelas setana Ida Batara Pucak Mangu
(Ida Batara Sangkara) sesuai dengan konsep Astadala. Atau stana Hyang Manik
Gumawang, putra Hyang Pasupati. Di situ juga terdapat meru tumpang sembilan dan
meru tumpang lima.
Puri Mengwi sebagai pengerajeg pura, sedangkan
pengempon-nya adalah delapan desa adat yakni Desa Adat Tinggan, Pelaga, Kiadan,
Nungnung, Bukian, Semanik, Auman dan Tiyingan. ”Pura ini sebagai tempat memohon
kerahayuan dan kemakmuran jagat,” katanya.
Dalam Purana Pura Sad Kahyangan Pucak Mangu
yang disusun Bappeda Kabupaten Badung disebutkan Sima Gunung merupakan tradisi
spiritual yang dilakukan masyarakat yang berada di lereng Gunung Mangu. Para pemaksan Pura Penataran Agung Pucak Mangu
dalam setiap piodalan di pura tersebut senantiasa melakukan upacara yang
mereka namakan Sima Gunung. Bentuk dan isi upacaranya khas pegunungan. Uniknya,
upakara yang diaturkan tidak ditaruh di pelinggih namun dibawa secara berdiri
(di-tampa). Demikian juga eteh-eteh penganteb, pelupuan dan karangan semuanya
di-tampa. Pada saat pelaksanaan upacara Sima Gunung, umat setempat tidak lupa
mengaturkan babi trus gunung (babi hutan hitam). Demikian pula sorohan pelupuan
bawi yang terdiri atas nasi sasanan di atas don telujungan. Semua itu diaturkan
kepada Hyang Siwa dengan memohon agar tumbuh-tumbuhan berupa pala bungkah dan
pala gantung tumbuh dengan subur dan tidak diserang hama penyakit. Upacara yang juga khas sima
gunung adalah upacara yang dilaksanakan pada Purnamaning Sasih Kepitu yang
disebut upacara Ngebekin. Upacara ini bertujuan untuk memohon agar
tanam-tanaman tidak diserang hama.
Demikian pula ternak peliharaan seperti babi, sapi, ayam dan sebangsanya tidak
terserang penyakit (gerubug).
Pura Pucak Mangu terletak di Puncak sebuah
deretan pegunungan yang terletak di sesebelah utara Danau Beratan. Sedangkan
Pura Penataran Agung Pucak Mangu terletak di pangkal gunung Mangu. Di gunung
Mangu ini, selain puncaknya sendiri berdiri bangunan-bangunan suci yang cukup
besar, juga gunung Mangu mempunyai keistimewaan yaitu mempunyai dua buah
Penataran Agung.
Penataran Agung yang pertama didirikan oleh I
Gusti Agung Putu, alian Cokorda Sakti Blambangan, pada tahun 1555 Saka atau
1633 Masehi.
Penataran Agung yang kedua adalah Penataran
Agung yang terletak di Desa Tinggan. Penataran Agung ini didirikan pada Tahun
1752 Saka atau Tahun 1830 Masehi, oleh Cokorda Nyoman Mayun. Letak Pura
Penataran ini adalah di sebelah timur gunung Mangu yaitu di Desa Tinggan.
Upacara piodalan Ida Bhatara di Pura Pucak Mangu
dilaksanakan pada setiap Purnamaning
Sasih Kalima.
Piodalan Pura Pucak Mangu jatuh tiap setahun sekali yaitu
pada Purnama Kelima. Meski demikian, penyelenggaraan upacaranya dihindari hari
purnama yang bertepatan dengan hari pasah, terlebih lagi menemui pasah tungleh
dan soma pasah. Demikian juga apabila bertemu dengan ingkel wong. Apabila hari
pujawali bertepatan dengan pasah maupun ingkel wong tadi maka upacara diundur
pelaksanaannya yang disebut pujawali Ida Batara kalaksanayang ring mayangne.
Aedan karya piodalan di Pucak Mangu dilaksanakan melalui dua
tahap. Tahap pertama diadakan upacara dan upakara di pura yang berada di puncak
gunung (Mangu). Upacara piodalan ini dilakukan pada pagi hari. Sejak pagi hari
semua peralatan upakara, banten, gambelan diangkut oleh pemaksan menuju puncak
gunung. Setelah rangkaian upacara yang dilaksanakan di puncak itu selesai, Ida
Batara kairing ke Penataran Agung yang berada di Desa Tinggan. Di Pura
Penataran Ida Batara nyejer selama sebelas hari.
Adapun rangkaian upacara yang dilakukan di Pura Penataran
Agung Tinggan adalah sebagai berikut: Matur piuning nuwasen karya, nunas tirta
pangingsahan, negtegan beras lan nyamuh ngingsah nguntap Ida Batara melasti
mapepada, piodalan, piodalan penganyar masineb.
Upacara piodalan di Pura Penataran Agung Pucak Tinggan
dilaksanakan menurut ketentuan tingkat karya. Pada saat piodalan di-puput ida
pedanda sebagai wiku pamuput dan pamutus karya. Upacara kemudian dilanjutkan
dengan upacara persembahan dan pemujaan pawedalan menurut tradisi sima gunung
yang dipimpin Pemangku Gede Pura Pucak Mangu yang dibantu oleh semua pemangku
dari kedelapan banjar pemaksan Pura Pucak Mangu.
Di samping upacara yang dilakukan saat pidaolan juga ada
upcara penyabran mengani aci peyabran yang dilakukan di Pura Penataran Pucak
Mangu, seperti pangliwonan, purnama, tilem, Galungan, Kuningan, Sarasawati,
Pagerwesi, anggara kasih maupun rerahinan yang lain. Pelaksaanaan aci peyabran
ini secara rutin dilakukan oleh pemangku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar